Sabtu, 12 Maret 2011

SITUS AER MATA

Situs Aer Mata
Kompleks kuburan kuno itu terhampar kokoh di puncak bukit kecil berketinggian 25-30 meter di atas permukaan air laut. Sekelilingnya dikitari pagar batu andelis warna putih, disusun rapi, tanpa menggunakan perekat semen bak bangunan candi-candi tua di Pulau Jawa. Ada enam cungkup ukuran besar, sedang, dan kecil berdiri tegar di bagian tengahnya. Desain arsitekturnya yang unik artistik tak hanya menawarkan keelokan situs karya seni yang antik, namun juga menyiratkan nuansa sakral, angker, sekaligus teka-teki misteri.
Pasarean Aermata atau Makam Ratu Ibu, demikian penduduk Madura menyebut situs sejarah di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, itu. Sejak ratusan tahun lalu, situs yang satu ini tak hanya populer karena keunikan seni arsitekturnya, tetapi juga karena kadar kekeramatannya. Itu sebabnya, Pasarean Aermata tak pernah sepi dari kunjungan para ahli tirakat.
“Setiap bulannya bisa mencapai 1.000 orang lebih,” kata Moh Jasam (78), juru kunci pasarean. Kehadiran mereka tak hanya didominasi oleh para peziarah dari Pulau Madura dan Jawa, tetapi juga datang dari belahan Indonesia Timur seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan bahkan dari Nanggroe Aceh Darussalam.
 
Bagusnya, meski belum optimal, popularitas situs bernuansa cagar budaya itu kini mulai terendus ke mancanegara. Terbukti, dalam satu dasawarsa terakhir ini, Pasarean Aermata mulai kerap dikunjungi pelancong dari luar negeri. “Mereka ada yang datang dari Malaysia, Brunei Darusaalam, Singapura, dan bahkan Banglades,” tambah Jasam sambil memperlihatkan buku tamu dengan sederet nama asing.
Aroma keunikan Pasarean Aermata memang meniupkan daya pikat tersendiri bagi para pelancong. Betapa tidak, di dalam kompleks makam kuno itu bersemayam potensi sejarah dengan latar belakang kehidupan para raja Madura Barat abad ke-16 sampai dengan abad ke-19. Jelasnya, di balik deretan tiga cungkup utama, berbaring jasad raja-raja dari Keraton Plakaran, Bangkalan, pada era pemerintahan Dinasti Panembahan Cakraningrat alias Raden Praseno, hingga tujuh turunan. Di antaranya adalah kuburan Panembahan Cakraningrat II alias Raden Undakan (1648-1770), Panembahan Cakraadiningrat V alias Raden Sidomukti (1646-1770), Panembahan Cakraadiningrat VI alias Raden Tumenggung Mangkudiningrat (1770-1780), dan Sultan Cakraadiningrat I alias Raden Abdurahman (1780-1815).
Tiga penguasa Keraton Bangkalan (Kerajaan Plakaran) lainnya, yakni Panembahan Cakraningrat I alias Raden Praseno (1624-1648), Panembahan Cakraningrat III alias Pangeran Suroadingrat (1707-1718), dan Panembahan Cakraningrat IV alias Pangeran Jurit (1718-1745) tidak dikuburkan di Pasarean Aermata. “Kuburan Raden Praseno ada di Imogiri. Maklum, Keraton Plakaran di Arosbaya di zaman Kerajaan Mataram dulu merupakan daerah taklukan Sultan Agung,” kata Jasam. Sementara Pangeran Suroadiningrat gugur di tengah laut ketika memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Demikian juga kuburan Pangeran Jurit ada di Afrika Selatan, setelah dia dibuang Belanda ke Benua Afrika.
Nuansa keelokan, keunikan, dan kelangkaan seni arsitektur Pasarean Aermata mulai tampak transparan ketika pelancong memasuki pintu gerbang masuk di kaki bukit. Tatanan tangga yang panjang berkelok-kelok bak liukan ular raksasa, menjulang landai menuju puncak Bukit Buduran, tempat bertenggernya tiga cungkup makam para raja dari Kraton Plakaran. Uniknya, seperti kebanyakan candi kuno di Pulau Jawa-Borobudur, Prambanan, dan Mendut misalnya-mata rantai tangga plus pagar pembatas di kanan-kirinya tersusun rapi dalam bentuk tumpukan batu andelis tanpa menggunakan lem perekat semen.
Situs Aer Mata
Keunikan serupa juga tampak pada susunan batu andelis pada pintu gerbang kedua, cungkup peringgitan tempat menerima tamu (pengunjung), cungkup tempat penyimpanan senjata dan sisa perabotan peninggalan kerajaan, cungkup para juru kunci, serta tiga cungkup utama tempat bersemayamnya jasad para raja. Demikian pula aksesori hiasan memolo dan kemuncak yang bertebaran di puncak atap masing-masing cungkup, pagar keliling kompleks pasarean, plus pagar kanan-kiri tangga masuk, juga bertengger elok tanpa menggunakan lem perekat semen. “Bangunan seperti ini jadi mengingatkan saya pada model bangunan Candi Borobudur,” kesan Ketua Pencinta Alam Ki Poleng Bangkalan Drs Mas Imam Luthfi.
Puncak keelokan estetika Pasarean Aermata sebagai situs peninggalan purbakala di Pulau Madura justru terletak di balik tiga cungkup utama, yakni cungkup makam Kanjeng Ratu Syarifah Ambami (1546-1569), permaisuri dari Panembahan Cakraningrat I yang juga turunan kelima dari Waliullah Sunan Giri alias Raden Samudro, cungkup makam Panembahan Cakraningrat II dan V, serta cungkup makam Panembahan Cakraadiningrat VI dan VII.
Latar belakang dinding pada masing-masing cungkup bertakhtakan taburan seni ukir amat rumit, indah artistik, dan hebatnya terbuat dari hamparan batu pualam putih (semacam batu oniks/marmer). Tidak hanya itu, semua warangka kuburan yang membungkus makam Kanjeng Ratu Syarifah Ambami, Panembahan Cakraningrat I dan V, Panembahan Cakraadiningrat VI dan VII, berikut makam para bangsawan keturunan para petinggi kerajaan itu, juga penuh bertabur ukiran antik. Hebatnya, jika kegelapan malam tiba, konfigurasi ragam bentuk ukiran itu tampak memantulkan kilatan cahaya putih kemilau. “Itulah salah satu kehebatan estetika dan daya tarik Pasarean Aermata,” ungkap Mas Imam Luthfi.
Di antara rumitnya konfigurasi seni ukir yang ada, tersimpan simbol misteri yang melambangkan kerukunan antar-umat dari tiga agama besar yang berkembang saat itu, yakni Islam, Buddha, dan Hindu. “Jika pengunjung teliti, simbol kerukunan itu, meski samar, tampak transparan,” tandas Imam. Benarkah? Ternyata benar. Sebab, di antara hamparan ragam bentuk seni ukir itu, tersisip ukiran bunga teratai, miniatur Ganesha, serta ukiran kaligrafi yang bertaut sambung-menyambung satu sama lainnya. “Asal tahu saja, ukiran bunga teratai itu merupakan simbol kebesaran agama Buddha, miniatur patung Ganesha simbol Hindu, sementara kaligrafi dalam bentuk tulisan Allah dan Muhammad simbol kebesaran Islam,” ungkap Imam. “Nah, pertautan ketiga simbol dalam bentuk relief ukiran itu sama halnya dengan melambangkan kerukunan antara umat Islam, Buddha, dan Hindu di Bumi Madura tempo dulu,” tambah dia.
Melalui telaah simbol keagamaan di balik misteri seni ukir itu, dapat dipastikan bahwa petuah, nasihat, dan imbauan agar para umat beda agama di Bangkalan bersanding dalam kehidupan yang rukun dan tenteram, tak hanya santer ditiupkan, tetapi berembus sejak era pemerintahan Panembahan Cakraningrat I pada lima abad yang silam. Bagusnya, roh kerukunan yang dibiaskan melalui simbol misteri seni ukir Pasarean Aermata itu tetap berkesinambungan hingga era abad milenium ini. Terbukti, sejauh ini tak pernah terbetik kabar adanya perseteruan, apalagi konflik fisik antara pemeluk Islam, Nasrani, Buddha, Hindu, Tridharma, dan berbagai aliran kepercayaan (kebatinan) di ranah Madura, khususnya Kabupaten Bangkalan. (Harian Kompas)

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru
 

Copyright © 2012. ROKIB, S.Ag. M.Pd.I. - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz