Jumat, 18 Maret 2011

MUNASABAH DALAM AL-QUR’AN

 

MUNASABAH DALAM AL-QUR’AN
Oleh : Rokib, S.Ag.
                           Disampaikan Dalam Diskusi Ilmiah Program Pasca Sarjana Unsuri Surabaya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad bin Abdullah melalui malaikat Jibril dengan menggunakan lafat bahasa arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT dengan membacanya, ia terhimpun dalam mushaf dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawattir dari generasi kegenerasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan[1].
Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang terbesar bagi Rasulullah, memiliki banyak keunikan, baik susunan katanya, keindahan bahasanya, urutan ayatnya, korelasi antar ayat atau suratnya (munasabah) dan lain sebagainya, sehingga selalu relevan dengan perkembangan jaman.
B.     Ruang Lingkup Masalah
Mengingat begitu kompleksnya persoalan yang menyangkut munasabah didalam al-Qur’an. Maka untuk memfokuskan pembahasan kami batasi ruang lingkupnya sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian munasabah itu?
2.      Apa yang menjadi dasar pemikiran timbulnya munasabah?
3.      Macam-macam munasabah
4.      Urgensi Munasabah dalam Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
MUNASABAH DALAM AL-QUR’AN
A.    Definisi Munasabah
Munasabah secara etimulogi berarti cocok, patut, sesuai, mendekati dan atau menyerupai.[2] Jika dikatakan Fulanun yunasibu fulanan berarti si Fulan mendekati atau menyerupai si Fulan.[3] Secara terminology munasabah diartikan suatu ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah yang dapat diterima oleh rasio.[4] Menurut Manna al-Qaththan munasabah berarti segi-segi hubungan antara satu kata dan kata lainnya dalam satu ayat dan ayat lainnya atau antara satu surat dengan surat lainnya. Sedangkan M.Hasbi Ash-Shiddiqy membatasi munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.[5] Jadi munasabah adalah ilmu yang membahas tentang hikmah korelasi urutan ayat al-Qur’an, atau usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal.

B.     Dasar Pemikiran Timbulnya Munasabah
Sifat munasabah itu ma’qul (rasional) karena didasarkan pada hasil perenungan disamping perhatian yang cermat dan mendalam terhadap susunan serta keterkaitan makna yang terkandung didalam ayat-ayat dan atau surat-surat dalam al-Qur’an. Karena sifat dan dasar itulah, maka terjadi perbedaan sikap dikalangan para ulama mengenai munasabah. Yang pertama: sikap yang memperhatikan dan mengembangkan munasabah, yang kedua: sikap yang tidak memperhatikan dan menganggap munasabah itu tidak perlu diungkap.
Kelompok pertama yang memandang perlunya mengungkap munasabah muncul pada abad ke empat hijriyah yang dipelopori oleh al-Imam Abu Bakar al-Nisaburi, dimana ia selalu berkata apabila dibacakan ayat-ayat atau surat dalam al-Qur’an, ia selalu memikirkan mengapa ayat itu diletakkan disamping ayat itu dan mengapa surat ini diletakkan disamping surat ini.[6] Para ulama’ yang mendukung kelompok pertamam ini diantaranya: Fahkruddin al-Razi, Nizhamuddin al-Nisaburi, Abu Hayyan al-Andalausiy dan Jalaluddin al-Suyuti.
Kelompok pertama yang memandang perlunya mengungkap munasabah diantara ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an ini berdasarkan pada suatu pemikiran bahwa, penyusunan ayat-ayat dan surat-surat itu bersifat taufiqi bukan ijtihadi. Ibn al-Hashar mengatakan: “penerbitan surah-surah dan peletakan ayat-ayat sebagai mana yang tertera didalam al-Qur’an adalah dengan jalan wahyu”. Sedangkan Jalaluddin al-Suyuthiy menandaskan “di antara hal yang menunjukkan taufiqi adalah keadaan surah-surah yang dimulai dengan Ha-mim disusun secara berurutan, demikian juga surah-surah yang dimulai dengan Tha-sin. Sementara surah-surah yang diawali dengan tasbih tidak disusun secara berurutan.[7] 
Kelompok kedua, yang menganggap munasabah tidak perlu diungkap diantaranya ulama’ yang bernama Ma’ruf Dualibi, ia mengatakan “Maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah mencari-cari hubungan diantara ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an. Karena al-Qur’an dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan halhal yang bersifat prinsip (Mabda’) dan nurma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surah-surah yang bersifat tafshil”[8]
Terlepas dari sikap pro dan kontranya para ulama’ tentang munasabah tersebut, yang jelas mereka telah telah berupaya maksimal untuk mencari dan menggali yang terbaik dari kitab suci al-Qur’an, dengan maksud agar kaum muslimin dimana dan kapan saja memberikan perhatian penuh.

C.    Macam-macam Munasabah
Menurut Manna al-Qaththan munasabah dikatagorikan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1.      Munasabah tentang perhatian terhadap lawan bicara
افلاينظرون الى الابل كيف خلقت. والى السماء كيف رفعت. والى الجبال كيف نصبت. والى الارض كيف سطحت
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Qs. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Pemakaian kata unta (al-ibili), langit (as-ama’), dan gunung-gunung (al-Jbal) berkaitan erat dengan dengan kebiasaan lawan bicara yang tinggal dipadang pasir yang kehidupan mereka sangat bergantung pada unta sehingga mereka sangat memperhatikannya.
2.      Munasabah antara satu surat dengan surat lainnya seperti pembukaan surat al-An’am
الحمد لله االذى خلق السموات والارض وجعل الظلمت والنور
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.(QS.Al-An’am: 1)
Dengan penutupan surat al-Ma’idah yang menerangkan tentang keputusan sikap terakhir seorang hamba kepada Tuhan
لله ملك السموات والارض وما فيهن  وهوعلى كل شيئ قدير
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Al-Ma’idah: 120)
Hubungan Surat Al Maa-Idah Dengan Surat Al An'aam
a.       Surat Al Maa'idah mengemukakan hujjah terhadap ahli kitab, sedang surat Al An'aam mengemukakan hujjah terhadap kaum musyrikin.
b.      Surat Al An'aam memuat makanan-makanan yang diharamkan dan binatang sembelihan secara umum, sedang surat Al Maa'idah memuat secara terperinci.
c.       Akhir Surat Al Maa'idah mengemukakan bahwa Allah s.w.t. menguasai langit dan bumi, memberi balaan terhadap perbuatan-perbuatan manusia selama didunia, sedang permulaan surat Al An'aam mengutarakan bahwa segala puji hanya untuk Allah, Pencipta langit dan bumi dan Sumber kebahagiaan manusia.
3.      Munasabah antara awal dan akhir surat, seperti yang terdapat dalam surat al-Qashas. Surat ini diawali dengan cerita Musa, langkah awal dan pertolongan yang akan diperolehnya, perlakuan ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Lalu surat ini diakhiri oleh ungkapan hiburan terhadap Rasululloa SAW.
Begitu juga pada permulaan surat al-Mukmin ن منو المؤ افلح قد (Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman) dan pada akhir penutupan suratnya berbunyi انه لايفلح الكافرون (Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung). Contoh yang lain adalah pada surat al-Qalam, ayat kedua dari permulaan suratnya berbunyi ما انت بنعمة ربك بمجنوم (berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila). Sedangkan pada ayat kedua dari akhir suratnya berbunyi  انه لمجنون(Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila)

Imam Jalaluddin As-Suyuthi juga membagi munasabah  dalam tiga katagori, yaitu:
1.      Tanzhir, yakni hubungan ayat yang mencerminkan perbandingan atau pemadanan.[9] Misalnya ayat :
كمااخرجك ربك من بيتك بالحق وان فريقا من المؤمنين لكرهون
Artinya “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”  (QS.Al-Anfal;5)
Ayat ini jelas-jelas mengiringi ayat sebelumnya, yakni:
ا ولئك هم المؤ منون حقا لهم درجت عند ربهم ومغفرة ورزق كريم
Artinya “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia” (QS.Al-Anfal;4)
2.      Mudhaddah, yakni hubungan yang mencerinkan pertentangan atau lawan kata.[10] Misalnya ayat:
اولئك على هدى من ربهم والئك هم المفلحون
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (al-Baqarah; 5)
Dengan ayat sesudahnya, yakni:
ان الذين كفروا سواء عليهم ءانذ رتهم ام لم تنذهم لايؤمنون
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (al-Baqarah;6)
3.      Istithrad, yakni hubungan yang mencerminkan keterkaitan suatu persoalan dengan persoalan lainnya.[11] Misalnya ayat:
يبنىءادم قدانزلناعليكم لباسايوري سوءاتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من ءايت الله لعلهم يذ كرون
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Al-A’raf; 26)
D.    Urgensi Munasabah dalam Al-Qur’an
Ilmu munasabah merupakan salah satu wahana dari sekian banyak ilmu-ilmu al-Qur’an untuk menefsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena sebagian besar ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelum atau sesudahnya, dalam arti hubungan yang menyatukan keutuhan makna. Misalnya perbandingan atau perimbangan antara sifat orang-orang mukmin dengan sifat yang dimiliki oleh orang-orang musyrik dan atau orang-orang kafir. Antara janji dan ancaman, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudahnya ayat-ayat azab, ayat-ayat yang berisi anjuran setelah ayat-ayat larangan, ayat-ayat tauhid dan penjelasan tentang kemahasucian Allah setelah ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam, demikian seterusnya.[12]
Dengan memperhatikan apa yang telah dikemukakan diatas dan dengan menyadari kenyataan bahwa sebagian besar wahyu dalam al-Qur’an tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, baik antara ayat dengan ayat, maupun pembukaan dan penutupan surat, maka keberadaan ilmu munasabah menjadi penting artinya dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an secara utuh.
Secara garis besarnya arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an ada tiga yaitu:
1.      Dari sisi balaghoh, korelasi (tanasub) antara ayat dengan ayat menjadi keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan dari keindahan kalimat yang teruntai didalam ayat akan hilang.
2.      Ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya membutuhkan pemahaman mengenai ilmu munasabah yang membahas tentang hubungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, baik dibagian awal maupun dibagian akhirnya.
3.      Sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah hubungan antar ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, maka dapat mempermudah dalam mengistimbatkan hukum ataupun makna-makna yang terkandung didalamnya.

BAB III
KESIMPULAN
1.      Munasabah merupakan ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah yang dapat diterima oleh rasio
2.      Sifat munasabah itu rasional, karena didasarkan pada hasil perenungan, perhatian yang cermat dan mendalam terhadap susunan serta keterkaitan makna yang terkandung didalam ayat-ayat dan atau surat-surat dalam al-Qur’an. Karena sifat dan dasar itulah, maka terjadi perbedaan sikap dikalangan para ulama mengenai perlu atau tidaknya munasabah
3.      Pada garis besarnya munasabah dikatagorikan menjadi tiga bentuk, yaitu:
a.       Tanzhir, yakni hubungan ayat yang mencerminkan perbandingan atau pemadanan
b.      Mudhaddah, yakni hubungan yang mencerinkan pertentangan atau lawan kata
c.       Istithrad, yakni hubungan yang mencerminkan keterkaitan suatu persoalan dengan persoalan lainnya
4.      Munasabah itu penting untuk dikaji karena membahas tentang hubungan antara ayat, dengan ayat, antar surah dengan surah dan antar permulaan dan penutupan surah, sehingga dapat memudahkan dalam memahami makna ayat atau surah. 

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tektualitas dan Konstektualitas Al-Qur’an, Yafakkur, Bandung, Edisi Revisi Cet.tiga, 2009

Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Indiva Pustaka, Surakarta, 2009

Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Penerbit Teras, Yokyakarta, 2009

Usman, Ulumul Qur’an, Teras, Yokyakarta, 2009


[1]Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Penerbit Teras, Yokyakarta, 2009, Hal. 52
[2] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tektualitas dan Konstektualitas Al-Qur’an, Yafakkur, Bandung, Edisi Revisi Cet.tiga, 2009, Hal. 190
[3] Usman, Ulumul Qur’an, Teras, Yokyakarta, 2009, Hal.161
[4] Ibid, Hal. 162
[5] Ahmad Izzan, Lok.Cit
[6] Usman, Op.Cit. Hal. 165.
[7] Usman, Ibid. Hal. 168-169
[8] Usman, Ibid. Hal. 170
[9] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Indiva Pustaka, Surakarta, 2009, Hal. 626
[10] Jalaluddin As-Suyuthi, Ibid.
[11] Jalaluddin As-Suyuthi, Ibid, Hal. 627
[12] Usman, Op.Cit. Hal. 172

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. ROKIB, S.Ag. M.Pd.I. - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz