Sabtu, 19 Maret 2011

EPISTEMOLOGI BAYANI



EPISTEMOLOGI  BAYANI


Disusun dalam rangka memenuhi tugas
Mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Shonhadji Sholeh, Dip.IS.
 










Disusun Oleh
Rokib, S.Ag.


PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2010 - 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Pembahasan tentang epistemologi bayani bagi orang yang belum mendalam memahami tentang studi islam tentunya akan terasa sangat sulit. Karena pembahasan tentang epistemology bayani sesungguhnya adalah bagian dari pembahasan filsafat. Kecuali bagi orang yang sudah memiliki khazanah pengetahuan filsafat dengan baik, maka pembahasan hal ini tidakakan terasa sulit. Oleh karena itu dalam serba keterbatasan ini sedapat mungkin saya akan berupaya untuk membahas epistemology bayani ini walaupun sesederhana mungkin.
Membahas personalan epistemologi bayani berarti menelaah epistemology keilmuan islam. Oleh karena itu untuk mempermudah dalam pembahasannya langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun pemahaman tentang apa arti epistemology dan bayani  secara etimologi dan terminology. Sehingga dapat ditarik benang merah dari kedua pengertian tersebut secara jelas. Namun karena terbatasnya literature yang berkaitan dengan hal tersebut tentu tidak akan dapat membahas secara rinci dan sejelas-jelasnya. 

          




BAB II
PEMBAHASAN
A.    EPISTEMOLOGI
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan. Sedangkan Logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan yang sistematik.[1]  berarti teori, uraian, atau alasan Dari gabungan dua kata ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan. Menurut DW. Hamlyn epistemology diartikan sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan.[2]  Menurut Drs. surajiyo epistemology diartikan teori pengetahuan yang benar[3]. Epistemology yang mula-mula mempertanyakan apakah pengetahuan itu? Dengan demikian epistemology secara umum dapat digolongkan kedalam salah satu disiplin filsafat. Namun timbul permasalahan  sementara orang mengatakan bahwa  epistemology adalah filsafat itu sendiri. Bagai manapun filsafat nerusaha memperoleh pengetahuan mendasar dan mendalam mengenai segala sesuatu, termasuk pengetahuan. Inti dari filsafat adalah itu pengetahuan, dan filsafat mengenai pengetahuan itu adalah epistemology[4]. 
Jadi epistemology merupakan cabang filsafat yang membicarakan asal muasal, sumber, metode, struktur dan validasi atau kebenaran pengetahuan. Epistemologi merupakan pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, bagai mana cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan.[5]  Epistemologi  merupakan pemikiran tentang apa dan bagai mana sumber pengetahuan manusia diperoleh, apakan darai akal pikiran, apakah darai pengalaman indrawi, apakah dari perasaan/ilustrasi dan apakah dari Tuhan[6]. Menurut Epistemologi setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui pleh manusia. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.

B.     BAYANI
Bayani secara etimologi bermakna sebagai penjelasan, pernyataan, ketetapan.[7] Sedangkan secara terminology bayani berarti pola fikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemology maka pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat skunder dan bertugas hanya untuk menjelaskan teks yang ada.[8]
Ditinjau dari perspektif sejarah bayani sebetulnya sudah dimulai sejak pada masa awal Islam. Hanya saja pada masa awal islam ini, yang disebut dengan bayani belum merupakan sebuah upaya ilmiyah dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya, tetapi baru sekedar upaya penyebaran tradisi bayani saja. Hal ini sama dengan istilah-istilah lain, seperti qiyas, yang sesungguhnya dalam aspek praktek sudah berlangsung sejak awal masa Islam, tetapi sebagai sebuah teori dan metodologi baru muncul kemudian. Formolasi qiyas secara mapan menjadi sebuah teori dan metodologi yang kokoh terbangun pada masa keemasan umat islam lewat tangan-tangan kreatif ahli ushul fikih.
Dalam tradisi keilmuan islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal jika ingin mengembangkan pola fikir bayani maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan pola fikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu dengan yang lain, sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmukeislaman maupun menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada henti.
Dalam tradisi bayani otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal menempati posisi skunder. Tugas akal dalam kontek epistemology bayani adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana implementasi ajaran teks tersebut dalam kehidupan konkrit berada diluar kalkulasi epistemology ini.
Sejak awal, pola fikir bayani lebih mendahulukan qiyas dan bukan mantik lewat sigolisme dan premis-premis logika. Disamping itu nalar epistemology bayani selalu mencurigai akal fikiran, karena dianggap akan menjahui kebenaran tekstual. Sampai-sampai muncul kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu untuk dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukan untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
Epistemology bayani secara historis termasuk system epistemology yang paling awal dalam pemikiran arab. System ini sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok yurisprudensi (figh) Al-Qur’an (interpretasi dan tafsir), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra non ilsafat. System epistemology bayani ini menghasilkan suatu pakem kombinatif untuk menfsirkan wacana dan mentukan syarat-syarat produksi wacana. Konsep dasar system ini menggabungkan metode fiqh seperti yang dikembangkan oleh al-Syafii dengan metode retorika seperti yang dikembangkan oleh al-Jhiz[9].
Hasil akhirnya adalah teori pengetahuan yang setiap levelnya bersifat bayani. Dalam level logika internalnya, teori pengetahuan (epistemology) ditentukan oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik, ungkapan pemahaman, komunikasi dan penangkapan secara penuh. Hal yang sama juga terdapat dalam ranah materi pengetahuan, yang terutama disusun dari al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqh serta prosa dan puisi arab. Begitu juga halnya dalam ranah idiologi, karena kekuatan ootoritatif yang menentukan yaitu dogma Islam ada dibelakang ranah ini. Oleh karena itu sejak awal ada batasan atau larangan tertentu untuk menyamakan pengetahuan dengan keimanan kepada Tuhan. System ini juga diterapkan dalam ranah epistemology, dimana manusia dipahami sebagai mahluk yang diberkati kapasitas bayan dengan dua tipe nalar. Pertama dalam bentuk bakat kedua hasil pembelajaran[10].
Tipe pemikiran yang terbangun dari talenta merupakan pemberian Tuhan. Sedangkan hasil pemikiran yang terbentuk dari hasil pembelajaran merupakan hasil tindak lanjut dan renungan. Mengingat perenungan membutuhkan pemikiran (thinking), bukan nalar (reason), atau pembuktian yang terdapat diluar nalar atau dibalik batasan-batasan nalar.
Fungsi nalar adalah untuk menela’ah realitas dunia sebagai manifestasi atau tanda apapun yang ada didalamnya, namun tidak dapat dipahami secara langsung. Ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan penalaran dengan mengenalogikakan yang tidak diketahui dengan yang sudah diketahui. (qiyas al-ghaib ala al-shahid).
System bayani dibangun oleh dua prinsip dasar. Pertama prinsip diskontinyuitas atau keterpisahan (al-infisal). Kedua prinsip kontingensi atau kemungkinan (al-tajwiz). Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi dalam teori subtansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi dan apapun yang terbentuk didalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang kebetulan saja, tetapi tidak memengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kualitas atau ide tentang adanya hukum alam.[11]
Sumber epistemology semacam ini terdapat dalam gagasan-gagasan badui (Arabi) yang disalah pahami. Rujukan yang mempunyai otoritas tidak hanya kepada al-Qur’an, tetapi juga pola pembacaannya dalam pandangan dunia masyarakat Arab pra-Islam yang modern. Bahasa Arab menjadi satu-satunya perantara dan kerangka rujukan, karena bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Epistemology bayani adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat skunder dan bertugas hanya untuk menjelaskan teks yang ada.
Pola fikir bayani lebih mendahulukan qiyas bukan mantik lewat sigolisme dan premis-premis logika. Disamping itu nalar epistemology bayani selalu mencurigai akal fikiran, karena dianggap akan menjahui kebenaran tekstual (wahyu).

B.     Saran
Demikian sekelumit bahasan tentang epistemology bayani ini. Terbatasnya referensi tentang bahasan ini membuat penulisan makalah ini sangat tidak sempurna. Oleh karena kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini sangat kami nantikan. Trimakasih.






DAFTAR PUSTAKA

Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yokyakarta, 2007

Jalaluddin, Prof.Dr. dan Abdullah Idi, M.Ed. Dr. Filsafat Pendidikan (Manusia,Filsafat dan Pendidikan), Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2009

Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2002

Munawwir Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Yokyakarta, 1984

Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Penerbit Teras, Yokyakarta, 2009

Ramayulis, Prof.Dr.H.dan Samsul Nizar, Dr. MA. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Kalam Mulya, Jakarta, 2009

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,  Bumi Aksara, Jakarta, Cet.4, 2009

Walid Hamarneh, Pengantar dalam Muhammad Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam,Wacana Baru Filsafat Islam, terj. Burhan, Yokyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2003, Hal. xix-xx



[1] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yokyakarta,2007, halaman. 1.
[2] Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2002. Hal. 3.
[3] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,  Bumi Aksara, Jakarta, Cet.4, 2009, Halaman 151
[4] Op.Cit. Hal 5.
[5] Jalaluddin, Prof.Dr. dan Abdullah Idi, M.Ed. Dr. Filsafat Pendidikan (Manusia,Filsafat dan Pendidikan), Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2009, Hal. 83.
[6] Ramayulis, Prof.Dr.H.dan Samsul Nizar, Dr. MA. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Kalam Mulya, Jakarta, 2009, Hal. 12
[7] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Yokyakarta, 1984, Hal. 136.
[8] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Penerbit Teras, Yokyakarta, 2009, Hal. 78
[9] Ibid. Hal.80
[10] Walid Hamarneh, Pengantar dalam Muhammad Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam,Wacana Baru Filsafat Islam, terj. Burhan, Yokyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2003, Hal. xix-xx
[11] Op.cit. hal.xxi

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. ROKIB, S.Ag. M.Pd.I. - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz